MAKALAH
PEMBUATAN
POLYURETHANE FOAM DENGAN MENGGUNAKAN CASTOR OIL (MINYAK JARAK KEPYAR)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Pendahuluan
Polyurethane memiliki banyak kegunaan,
diantaranya sekitar 70% digunakan sebagai busa (foam), selebihnya sebagai bahan
elastomer, lem dan pelapis. Polyurethane merupakan bahan polimer yang mempunyai
ciri khas adanya gugus fungsi urethane (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus
fungsi urethane dihasilkan dari reaksi antara senyawa yang mengandung gugus
hidroksil (-OH) yang biasa disebut polyol dengan senyawa yang mengandung gugus
isocyanate (-NCO-). Pemilihan pemakaian polyol akan mempengaruhi perluasan
rantai polimer, crosslinking, dan kekakuan polyurethane foam. Polyol yang
mengandung dua gugus hidroksil disebut diol dan yang mengandung tiga gugus
hidroksil disebut triol, dll.
Secara umum, polyol yang digunakan dalam
pembuatan polyurethane dibuat secara sintetis yang berupa produk turunan dari
petroleum. Polyol sintetis dibagi menjadi dua jenis yaitu polyester polyol dan
polyether polyol. (Sparrow, 1990). Tidak menutup kemungkinan penggunaan bahan
alami yang sifatnya mirip dengan polyol dan lebih murah serta ramah lingkungan.
Salah satu bahan alami yang berpotensi digunakan sebagai polyol adalah castor
oil dimana pada struktur molekulnya mengandung tiga gugus hidroksil.
Castor oil memiliki tiga ikatan ester yang
masing – masing mengikat asam lemak. Asam lemak tersebut memiliki gugus
hidroksil sekunder pada rantainya sehingga dapat menimbulkan potensi terjadinya
crosslinking saat proses polimerisasi. Besar kecilnya derajat cross-linking
mempengaruhi sifat mekanis foam yang dihasilkan. Oleh karena itu di dalam
penelitian ini akan dipelajari, bagaimana pengaruh castor oil terhadap struktur
foam yang dihasilkan.
Rantai – rantai molekul yang berujung
gugus isocyanate dapat saling dihubungkan oleh chain extender yang berberat
molekul rendah. Chain extender akan membentuk segmentasi antara hard segment
dan soft segment. Dengan pemanjangan rantai diharapkan gaya tarik menarik antar
hard segment dapat berkurang. Oleh sebab itu di dalam penelitian ini juga akan
dipelajari, bagaimana pengaruh pemanjang rantai atau chain extender terhadap struktur
foam yang dihasilkan.
2.
Polyurethane Foam
Foam didefinisikan sebagai substansi yang
dibentuk dengan menjebak gelembung gas di dalam cairan atau padatan.
Polyurethane foam diklasifikasikan ke dalam 3 tipe, yaitu flexible foam, rigid
foam dan semi rigid foam. Perbedaan sifat fisik dari 3 tipe polyurethane foam
tersebut berdasarkan pada perbedaan berat molekul, fungsionalitas polyol dan
fungsionalitas isocyanate. Berdasarkan struktur selnya, foam dibedakan menjadi
dua, yaitu closed cell (sel tertutup) dan opened cell (sel terbuka). Foam
dengan struktur closed cell merupakan jenis rigid foam sedangkan foam dengan
struktur opened cell adalah flexible foam. (Cheremisinoff,1989)
Polyurethane foam biasanya dibuat dengan
menambahkan sedikit bahan volatile yang dinamakan sebagai bahan pengembang
(blowing agent) untuk mereaksikan campuran. Acetone, methylene chloride dan
beberapa chlorofluorocarbon (CFCl3) yang sering digunakan sebagai bahan
pengembang (blowing agent) pada pembuatan polyurethane.
3.
Castor Oil
Minyak kastor (castor oil) merupakan
minyak trigliserida yang dapat diperoleh dari biji tanaman jarak kepyar
(Ricinus Communis L.). Trigliserida adalah molekul triester yang tersusun dari
glycerol dan tiga molekul asam lemak. Kandungan asam lemak terbanyak penyusun
minyak jarak adalah asam risinoleat yaitu sebesar 89,5%. (Kirk – Othmer, 1993)
Minyak jarak banyak digunakan dalam
industri kimia karena adanya gugus hidroksil di tengah rantai karbon pada C12
dan adanya ikatan rangkap yang memungkinkan untuk dihasilkan produk turunan
kimia dari minyak tersebut. Minyak kastor dapat dianggap sebagai polyol karena
terdapat beberapa gugus hidroksil.
4.
Bahan Aditive
Beberapa bahan tambahan yang dapat
digunakan untuk membentuk foam polyurethane, diantaranya adalah
A. Bahan
pengembang (blowing agent) bahan pengembang (blowing agent) terbagi menjadi dua
yaitu:
1)
Blowing agent fisika : gas-gas (udara,
nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam polimernya
2)
Blowing agent kimia yang terurai oleh
pemanasan untuk melepaskan gas, contoh : cairan bertitik didih rendah seperti
methylene chloride, acetone, dan CFCl3. (Steven ,2001)
B. Katalis
Katalis polyurethane diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu :
1)
Senyawa amina fungsinya untuk mempercepat
reaksi isocyanate – air dan reaksi isocyanate – polyol. Contoh : triethylamine,
triethylene diamine, dll
2)
Kompleks organo logam sebagai katalis yang
kuat untuk reaksi isocyanate – polyol. Contoh : stannous oleate, dan stannous
octoate.
C. Surfaktan
Surfaktan adalah senyawa yang molekul-molekulnya mempunyai dua ujung yang
berbeda interaksinya. Surfaktan yang dapat digunakan merupakan surfaktan
berbasis silicone oil. Surfaktan, berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan
antara liquid – liquid atau liquid – solid, mencampur komponen – komponen yang
tidak saling larut, memperbaiki penampilan struktur sel, untuk stabilisasi
ekspansi foam saat mengembang, pengontrol ukuran sel, menghasilkan tipe
struktur sel yang diinginkan seperti sel terbuka (opened cell) atau sel
tertutup (closed cell)
D. Chain
extender Penambahan chain extender dapat meningkatkan panjang hard segment agar
diperoleh pemisahan mikrofase yang lebih sempurna. Tanpa penambahan chain
extender, polyurethane yang dihasilkan biasanya memiliki properti mekanis yang
kurang baik dan menunjukkan adanya pemisahan mikrofase yang tidak sempurna.
(Wang,1998) Chain extender dapat dikategorikan menjadi dua kelas, yaitu diol
dan diamine. Secara umum, chain extender yang berupa diol atau diamine alifatik
akan menghasilkan material yang lebih lembut daripada chain extender aromatik.
5.
Pembentukan Polyurethane Foam
Terdapat dua sistem yang dapat digunakan
untuk membentuk polyurethane yaitu sistem one-step (one-shot process) dan Sistem
two-step (prepolymer process). Sistem one-step umumnya digunakan dalam
pembentukan polyurethane foam, sedangkan sistem two-step diaplikasikan pada
produksi elastomer. Sistem one-step (one-shot process) adalah semua bahan baku
untuk menghasilkan polimer dicampur bersama-sama. (Klempner, 2001)
Ada dua reaksi kimia penting pada
pembentukan polyurethane foam, reaksi pertama adalah antara isocyanate dengan
polyol membentuk polyurethane (reaksi 2.1). Reaksi kedua adalah reaksi antara
air dan isocyanate menghasilkan polyurea dan gas CO2 sebagai chemical blowing
agent. (Wang,1998)
Reaksi
kimia secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Reaksi pembentukan
polyurethane :
R–NCO
+ HO–R1 → R–NHCOO–R1 + 24 kcal/mol (1)
Isocyanate
alkohol Urethane
Reaksi
pembentukan gas dan urea : ·
Tahap
I:
R-NCO
+ H2O →
R–NH2 + CO2↑ + 22 kcal/mol (2)
Isocyanate
Air Amine Karbondioksida ·
Tahap
II :
R-NH2
+ R-NCO → R-NH-CO-NH-R’ + 22 kcal/mol (3)
Amine
Isocyanate Urea
Adanya senyawa hidrogen aktif dalam air
akan mempercepat reaksi antara air dan isocyanate, dimana reaksi tersebut
diawali dengan memproduksi asam karbamat yang tidak stabil sehingga cepat
terdekomposisi menjadi amine dan melepaskan gas CO2 sebagai blowing agent.
Selanjutnya amine akan bereaksi dengan isocyanate yang belum terkonversi untuk
menghasilkan urea sebagai hard segment.
Berdasarkan sifat – sifat yang dimiliki
oleh masing – masing bahan yang digunakan, dalam pembuatan polyurethane foam
memberikan pengaruh interaksi antar bahan. Oleh karena itu urutan pemasukan
bahan dapat menjelaskan mekanisme reaksi yang terjadi diantaranya adalah :
a.
Pembentukan emulsi air – polyol
(Polypropylene Glycol/Castor Oil) oleh surfaktan Surfaktan berperan dalam
proses pembentukan emulsi. Gugus hidrofil surfaktan akan mendorong molekul –
molekul air sedangkan gugus hidrofob memecah tegangan permukaan polyol sehingga
terbentuk miscelle. Dengan terbentuknya miscelle, air akan mudah tersebar
didalam campuran. Gugus hidrofilik akan memberikan efek proteksi terhadap air
karena akan mengurangi difusifitas antar muka (Lim dkk, 2008).
b.
Blending Emulsi Polyol dengan Ethylene
Glycol dan Triethylene Diamine Pada sistem miscelle air - polyolethylene glycol
akan kalah berkompetisi dalam hal pengaktifan atom hidrogen. Hal ini
dikarenakan ethylene glycol berjumlah sedikit dan tidak dapat tercampur
sempurna karena ethylene glycol lebih bersifat polar dibandingkan polyol yang
sudah membentuk sistem emulsi terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena rantai
alkana ethylene glycol lebih pendek dan memiliki gugus hidroksil.
(Fessenden,1986)
c.
Pengaktifan hidroksil pada parsial Castor
Oil (C.O) oleh Stannous Octoate (S.O) Pada tahap ini castor oil tidak
mendapatkan competitor untuk berikatan dengan stannous octoate sehingga
stannous octoate pada campuran ini seluruhnya mengaktifkan hidrogen castor oil
(Steven,2011).
d.
Tahap reaksi dengan Toluene diisocyanate
(TDI) Gugus isocyanate yang paling reaktif pada TDI adalah gugus nomor 2 atau
yang dekat dengan gugus fungsi toluene yaitu gugus metil (Sparrow,1996). Pada
awal TDI dimasukkan ke dalam reaktor, castor oil cenderung hanya bereaksi
dengan gugus isocyanate yang lebih reaktif. Sedangkan PPG berkompetisi bereaksi
dengan TDI menutup gugus isocyanate yang ada sehingga akan terbentuk dua jenis
dimer urethane. Setelah konsentrasi polyol berkurang karena telah bereaksi
dengan TDI, ethylene glycol molekul kecil yang dapat bergerak karena adanya
tolak menolak dan tarik – menarik dari polaritas campuran akan mudah menumbuk
TDI untuk bereaksi. Kemudian proteksi miscelle pada air akan mulai renggang dan
menaikkan difusifitas antar muka sehingga air akan bereaksi dengan TDI
membentuk urea. Kedua reaksi tersebut akan membentuk hard segment pada rantai
polimer. Dimer castor oil akan cenderung mencari urea dan bereaksi membentuk
prepolimer. Hal ini disebabkan oleh gaya tarik yang dihasilkan oleh urea lebih
besar karena keelektronegatifan atom – atomnya yang tinggi (Fessenden,1986).
Sedangkan dimer PPG akan bereaksi dengan ethylene glycol – TDI. Kedua jenis
prepolimer ini dapat terhubung dengan satu sama lain dengan dijembatani oleh
hard segment urethane linkage dan urea linkage sehingga dapat terbentuk
polyurethane (Wang,1998).
6.
Proses Foaming
Pada proses foaming gas yang terbentuk
terlarut di dalam polimer hingga mencapai batas saturasi. Saat proses foaming
terjadi proses nukleasi yaitu terbentuknya nuklei – nuklei yang akan tumbuh
menjadi bubble. Proses nukleasi ini terjadi pada kondisi supersaturasi yang
tinggi karena kenaikan suhu yang disebabkan oleh kalor yang tergenerasi
sehingga menyebabkan gas berada di luar batas kelarutan. Hal ini mengakibatkan
konsentrasi gas di dalam polimer berkurang karena gas berdifusi ke dalam nuklei
sehingga tumbuh dan berkembang menjadi bubble. Oleh karena itu terjadi ekspansi
volume polyurethane foam.
Menurut Luis D. Artavia dan Christopher W.
Macosko, perubahan material struktur sel selama foaming terbagi menjadi 4 tahap
:
a.
Nukleasi gelembung gas (Bubble nucleation)
b.
Foam liquid
c.
Pemisahan fase
d.
Foam Elastomer
7.
Metodologi Penelitian
Polyurethane foam dibuat dengan metode one
shoot yang melewati beberapa tahap pencampuran. Air, silicone glycol, PPG,
castor oil, ethylene glycol, dan TEDA dimasukkan ke dalam reaktor dan diaduk
selama 50 detik menjadi campuran A. Campuran stannous octoate dan sebagian
polyol serta blowing agent methylene chloride ditambahkan ke dalam campuran A
dan diaduk selama 50 detik sehingga menjadi campuran B. Toluene diisocyanate
dimasukkan ke dalam campuran B dan membiarkannya bereaksi yang disertai dengan
pengadukan berkecepatan tinggi selama 5 – 10 detik sebelum campuran mengembang.
Hasil reaksi dari reaktor dipindahkan ke dalam cetakan dan dibiarkan untuk
mengalami proses curing selama 7 hari.
Pembuatan polyurethane foam dengan sistem
polyol (PPG - castor oil) dapat mempengaruhi struktur foam yang dihasilkan.
Struktur foam sangat dipengaruhi oleh ukuran sel, distribusi, dan pembukaannya.
Oleh karena itu untuk mengetahui keberhasilan foam yang dihasilkan, polyurethane
foam yang telah melewati tahap curing dikarakterisasi berupa bulk density,
rasio volume ekspansi, densitas sel dan diameter sel dengan menggunakan bantuan
Scanning Electron Microscope (SEM), serta penentuan ikatan yang terbentuk dan
gugus fungsi dengan menggunakan bantuan Fourier Transform Infrared (FTIR).
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Rasio ekspansi volume dan bulk density
a.
Pengaruh komposisi castor oil pada chain
extender ethylene glycol 0 pphp
Pada penelitian ini blowing agent yang
digunakan terdiri dari dua macam yaitu blowing agent kimia (CO2) dan blowing
agent fisik (methylene chloride). Pada proses foaming gas yang terbentuk
terlarut di dalam polimer hingga mencapai batas saturasi. Saat proses foaming
terjadi proses nukleasi yaitu terbentuknya nuklei – nuklei yang akan tumbuh
menjadi bubble. Proses nukleasi ini terjadi pada kondisi supersaturasi yang
tinggi karena kenaikan suhu yang disebabkan oleh kalor yang tergenerasi
sehingga menyebabkan gas berada di luar batas kelarutan. Hal ini mengakibatkan
konsentrasi gas di dalam polimer berkurang karena gas berdifusi ke dalam nuklei
sehingga tumbuh dan berkembang menjadi bubble. Oleh karena itu terjadi ekspansi
volume polyurethane foam. Rasio ekspansi volume dapat diketahui dengan
membandingkan pertambahan volume polyurethane setelah foaming terhadap volume
awal bahan.
Bulk density merupakan kerapatan foam yang
menunjukkan besarnya massa foam per satuan volume. Bulk density ditentukan
dengan cara menimbang massa polyurethane foam yang telah dibuat pada ukuran
volume tertentu yaitu 3 x 3 x 3 cm. Ukuran matrix akan menentukan massa foam.
Ukuran matrix dipengaruhi oleh jumlah bubble saat proses foaming yang membentuk
dinding – dinding sel foam.
Pada penelitian ini digunakan castor oil
yang bersifat kurang reaktif terhadap isocyanate apabila dibandingkan dengan
PPG. Hal ini disebabkan castor oil memiliki ikatan gugus hidroksil (-OH)
sekunder yang berada di tengah rantai, sedangkan pada PPG, gugus hidroksilnya
berada di ujung sehingga lebih reaktif. Isocyanate akan bereaksi dengan
hidroksil sekunder sekitar 10 kali lebih lambat daripada hidroksil primer
(Sparrow, 1990). Dari kereaktifan castor oil yang kecil, maka laju reaksi
gelation berlangsung lambat.
Dilihat dari sifatnya castor oil merupakan
minyak trigliserida yang memiliki tiga ikatan ester dan secara umum bersifat
non polar. Akan tetapi castor oil dapat larut dengan alkohol yang bersifat
polar karena terdapat gugus hidroksil pada ikatan sekunder (G.R.O’shea company,
2004). Dengan sifat tersebut castor oil dimungkinkan bertindak sebagai
plasticizer. Chanda dan Roy (2006) mengemukakan dalam praktik, plasticizer
digunakan mengandung gugus polar dan non polar. Plasticizer merupakan substansi
organic bervolatilitas rendah yang ditambahkan untuk meningkatkan fleksibilitas
dan ekstensibilitas dengan meningkatkan kemampuan alir dan menurunkan
viskositas polimer. Contoh macam – macam plasticizer dapat berupa golongan
ester (Chanda.,Roy, 2006). G.R.O’shea company, perusahaan industri kimia
menyebutkan castor oil tidak hanya dapat tercampur, tetapi juga memplastisasi
material.
Pada pembuatan polyurethane foam yang
menggunakan castor oil, pada tahap reaksi laju reaksi gelation terutama antara
castor oil dengan toluene diisocyanate berlangsung lambat sehingga castor oil
juga dapat bertindak sebagai plasticizer. Ketika proses foaming, viskositasnya
masih rendah, struktur foam lebih fleksibel dan mudah diperluas, dan berat
molekul rantai polimer juga rendah. Kekuatan dinding bubble yang rendah juga
dapat dipengaruhi oleh berat molekul dan viskositas yang rendah (Petrovic,
2005). Hal ini dapat mengurangi energi yang dibutuhkan sel bubble untuk
berekspansi. Oleh karena itu diperoleh polyurethane foam dengan ekspansi volume
yang besar yang mengakibatkan adanya kenaikan pada rasio ekspansi volumenya dan
penurunan bulk density.
Castor oil juga menimbulkan aksi bending
dengan atom – atom gugus fungsi karena adanya gugus keton dan tiga gugus
hidroksil pada rantai asam lemaknya sehingga. Hal ini berpotensi meningkatkan
derajat crooslinking baik physical maupun chemical crosslinking. Ogunniyi dan
Fakayejo (1996), dalam penelitiannya mengemukakan turunnya elongation break
dari polyurethane foam yang dihasilkan dengan bertambahnya penggunaan castor
oil karena dihasilkan rigid crosslinking. Mekanisme yang paling tepat dalam
menurunkan kebebasan molekul adalah ikatan silang kimia yang mengikat silang
bersama rantai-rantai polimer melalui ikatan kovalen atau ion untuk membentuk
suatu jaringan. Crosslinking digunakan untuk meningkatkan ikatan kovalen dalam
pembuatan polyurethane dan dihasilkan foam yang bersifat kaku (Isnur., Nenny,
2006). Besarnya derajat crosslinking akan mempengaruhi besarnya kerapatan
rantai polimer karena banyaknya tarikan yang dapat tejadi, sehingga mengurangi
flexibilitas dan menjadi kaku. Jaringan matrix polyurethane foam yang
dihasilkan pun semakin rapat, sehingga bulk density meningkat dan foam
berekspansi tidak terlalu besar.
b.
Pengaruh konsentrasi ethylene glycol yang
menggunakan komposisi castor oil
Hard segment dan soft segment dihasilkan
dari blow reaction dan gelation reaction isocyanate. Pada blow reaction, gugus
isocyanate bereaksi dengan air menghasilkan asam carbamat yang kemudian
terdekomposisi menjadi gugus amine dan melepaskan gas CO2. Kemudian amine yang
dihasilkan bereaksi dengan isocyanate membentuk urea linkage sebagai hard
segment. Pada reaksi gelation, gugus isocyanate bereaksi dengan polyol untuk
menghasilkan urethane linkage sebagai penghubung antara hard segment dan polyol
soft segment.
Pada penelitian ini digunakan ethylene
glycol yang akan menjembatani rantai – rantai molekul yang berujungkan gugus
isocyanate. Adanya aditif ethylene glycol akan memicu segregasi atau pemisahan
hard segment sehingga modulus akan meningkat dan transisi Tg juga meningkat.
(Sparrow, 1990) Hal ini menyebabkan polimer yang dihasilkan akan lebih kaku
sehingga energi yang dibutuhkan untuk berekspansi menjadi besar.
Menurut Ilhamsyah dan Sidu (2005)
kecepatan isocyanate untuk membentuk urea dalam campuran mempengaruhi seberapa
besar resistensi yang didapatkan pada sel untuk berekspansi. Adanya surfaktan
dapat menurunkan difusivitas silang melewati antarmuka dan menghambat kinetika
reaksi pada proses foaming (Lim dkk, 2008). Pada sistem ini air terproteksi
oleh surfaktan di dalam suatu miscelle sehingga urea terbentuk lebih lambat.
Plasticizer dapat mereduksi derajat kristalinitas bahan polimer (Chanda., Roy,
2006). Sehingga adanya castor oil yang bersifat plasticizer dapat mereduksi
derajat kristalinitas yang dapat ditimbulkan oleh hard segment pada proses
foaming polyurethane foam. Dengan demikian resistensi yang ditimbulkan tidak
begitu besar pada pertumbuhan bubble. Ethylene glycol akan lebih dulu
memperpanjang rantai linier dan akan melenturkan rantai molekul di daerah
sambungan ethylene glycol karena molekulnya yang pendek dan kaku sehingga akan
memperbesar volume ruang antar rantai utama. Peningkatan panas reaksi oleh
adanya ethylene glycol juga akan meningkatkan suhu dan menurunkan viskositas
sehingga mempercepat laju penipisan film sel bubble dan menurunkan energi
aktivasi yang dibutuhkan sel untuk berekspansi (Triwulandari dkk,2007). Oleh
karena itu, rasio ekspansi volume dapat meningkat dan bulk density yang cenderung
menurun seperti yang ditunjukkan pada grafik 4 dan 5 pada penambahan ethylene
glycol hingga 1 pphp.
Akan tetapi rasio ekspansi volume mulai
menurun setelah dilakukan penambahan konsentrasi ethylene glycol melebihi 1
pphp. Peristiwa menurunnya rasio ekspansi volume pada penambahan ethylene
glycol 1,5 pphp dapat disebabkan karena penambahan ethylene glycol melebihi 1
pphp menyebabkan kuatnya tarikan yang terjadi karena semakin banyaknya hidrogen
bonding yang terbentuk. Hal ini dapat dibuktikan pada hasil analisa FTIR pada
gambar 4.11 pada wave number 3380 – 3445,22 cm-1. Ethylene glycol dapat memicu
terjadinya segregasi atau pemisahan hard segment sehingga modulus akan
meningkat dan transisi Tg juga meningkat (Sparrow, 1990). Adanya ethylene
glycol pada konsentrasi 1,5 pphp juga mempercepat pemisahan mikrofase di dalam
polimer dan akan memberikan hambatan pada pertumbuhan sel. Hal ini membuat
ekspansi volume menurun dan bulk density meningkat. Akan tetapi pada grafik 5
menunjukkan bahwa bulk density masih menurun setelah penambahan ethylene glycol
melebihi 1 pphp. Hal ini dapat disebabkan tegangan permukaan bubble yang tidak
seragam karena homogenitas aktivitas surfaktan maupun blowing agent yang kurang
merata.
Penelitian yang dilakukan oleh Ilhamsyah dan
Sidu (2005) tentang pengaruh chain extender terhadap property mekanis foam
flexible polyurethane menggunakan blowing agent CO2 dan methylene chloride
dimana polyol yang digunakan adalah polypropylene glycol menghasilkan foam
dengan bulk density berkisar 0,028 – 0,037 gr/cm3 . Sedangkan pada penelitian
ini, besar bulk density foam yang didapatkan berkisar 0,02 – 0,028 gr/cm3 .
Perbedaan rentang bulk density ini dapat disebabkan karena penggunaan komposisi
air yang berbeda. Berdasarkan properti standar yang ada, polyurethane foam yang
memiliki besar bulk density kurang dari 10 - 80 kg/m3 atau 0,01 – 0,08 gr/cm3
dan berjenis open cells dapat digolongkan sebagai low density flexible
polyurethane foam (ICI Polyurethane handbook, 1990). Foam yang dihasilkan pada
penelitian ini dan yang dihasilkan oleh Ilhamsyah dan Sidu memiliki sel
berjenis open cells . Dengan demikian berdasarkan properti tersebut, foam yang
dihasilkan dapat digolongkan ke dalam low density flexible foams.
2.
Morfologi polyurethane foam
a.
Pengaruh komposisi castor oil dan ethylene
glycol terhadap diameter sel polyurethane foam.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
keberadaan castor oil dapat menjadikan polimer lebih fleksibel dan berkemampuan
alir yang besar. Penambahan ethylene glycol akan meningkatkan suhu akibat dari
panas reaksi yang dihasilkan sehingga menurunkan viskositas polimer dan
mempercepat laju penipisan film (Triwulandari., dkk, 2007). Selain itu ethylene
glycol juga menambah berat molekul rantai polimer. Bertambahnya berat molekul
akan dapat menambah kekuatan gel pada proses foaming (Petrovic, 2005). Dengan
demikian ethylene glycol juga akan meningkatkan elastisitas dinding sel bubble
sehingga bubble lebih mudah berkembang dengan stabil. Energi yang dibutuhkan
bubble untuk berekspansi tidak terlalu besar dan sel foam yang terbentuk
berukuran besar.
Pada penambahan konsentrasi ethylene
glycol melebihi 1 pphp diameter sel mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan
karena penambahan ethylene glycol 1,5 pphp menyebabkan kekuatan gel terlalu
besar dan terjadinya pemisahan mikrofase hard segment dengan cepat. Akibatnya
terjadi pembentukan struktur parakristalin (Triwulandari, dkk. 2007). Hal ini
akan menambah kekuatan dinding sel dan menimbulkan hambatan sel – sel bubble
untuk berekspansi dan sel yang terbentuk berukuran kecil.
Pada komposisi castor oil 0 % dan 100 %,
terlihat semakin besar konsentrasi ethylene glycol, diameter sel memiliki
kecenderungan semakin meningkat. Menurut Ilhamsyah dan Sidu (2005) hal ini
disebabkan karena pada sistem, pertumbuhan nuklei relatif cepat ketika
kristalinitas urea masih tergolong rendah. Rendahnya kristalinitas urea dapat
disebabkan karena terproteksinya air oleh surfaktan maupun tersaringnya
kristalinitas oleh castor oil. Dalam hal ini blowing agent masih mampu
mengimbangi kuat tarik yang terjadi karena adanya hard segment dan bending
ikatan hidrogen yang ada. Dengan demikian sel bubble yang dihasilkan dapat
berukuran besar.
Perbedaan ukuran diameter sel polyurethane
foam pada penggunaan komposisi castor oil dan chain extender ethylene glycol
dapat dilihat pada gambar SEM (Scanning Electrone Microscope) dibawah ini. Dari
hasil analisa ini kemudian dapat dihitung diameter sel dari polyurethane foam
sehingga didapatkan ukuran diameter sel untuk komposisi castor oil 40% pada
berbagai konsentrasi ethylene glycol :
1)
Konsentrasi ethylene glycol 0 pphp : 2,635
mm
2)
Konsentrasi ethylene glycol 0,5 pphp :
3,932 mm
3)
Konsentrasi ethylene glycol 1 pphp : 8,293
mm
b.
Pengaruh komposisi castor oil dan
konsentrasi ethylene glycol terhadap densitas sel polyurethane foam
Densitas sel mikroseluler dihitung sebagai
jumlah sel yang ternukleasi per satuan produk polyurethane foam. Jika area
mikrograph disimbolkan dengan A dan jumlah sel dalam mikrograph disimbolkan
dengan nc, maka densitas sel dapat dihitung dengan persamaan :
Densitas
sel =
Sifat umum dari minyak adalah non polar,
akan tetapi bentuk struktur dan letak gugus hidroksil (-OH) castor oil
menjadikan castor oil dapat larut dengan alkohol yang bersifat polar (G.R.O’shea
company, 2004). Hal ini dapat mempengaruhi gerak ethylene glycol yang bersifat
polar untuk berikatan pada ujung rantai molekul dan mengganggu aktivitas
surfaktan dalam menggenerasi bubble. Peningkatan ethylene glycol akan
memperkuat kekuatan gel dan elastisitas dinding bubble (Petrovic, 2005). Dengan
demikian ethylene glycol juga akan memicu terbentuknya banyak bubble.
3.
Struktur Molekul
a.
Pengaruh komposisi 40% castor oil terhadap
struktur molekul polyurethane foam dengan konsentrasi ethylene glycol
Tabel
1 Hasil Pembacaan Spektrum FTIR untuk 40% Castor oil Dengan Konsentrasi
Ethylene glycol 0 pphp.
Panjang Gelombang (cm-1)
|
Hasil
Pembacaan
|
3390,19
|
O
– H stretch dan N – H stretch
|
2928,20
|
C
– H stretch
|
2862,21
|
C
– H stretch
|
1736,28
|
C
= O stretch
|
1706,28
|
C
= O stretch
|
1652,28
|
C
= C stretch
|
1644,28
|
C
= C stretch
|
1600,28
|
C
= C stretch (normally four bands)
|
1470,30
|
H
– C – H bend
|
1299,31
|
C
– O – C stretch
|
Daerah
dengan panjang gelombang 3390,19 cm-1 (N – H stretch) dan 1736,28 cm-1 (C = O
stretch) mengindikasikan adanya urethane linkage yang dapat menghubungkan
oligomer – oligomer sehingga terbentuk polyurethane. Sedangkan daerah dengan
panjang gelombang 3390,19 cm-1 (O – H stretch), 2928,20 cm-1 (C – H stretch)
dan 2862,21 cm-1 (C – H stretch) mengindikasikan adanya soft segment polyol
dalam dalam struktur rantai polyurethane. Selain itu, daerah dengan panjang
gelombang 1706,28 cm-1 (C = O stretch) mengindikasikan adanya trigliserida dari
castor oil.
b.
Pengaruh komposisi 40% castor oil terhadap
struktur molekul polyurethane foam dengan berbagai konsentrasi ethylene glycol
Dari hasil analisa FTIR tersebut untuk
komposisi castor oil 40% dengan berbagai konsentrasi ethylene glycol dapat
dilihat semakin banyak ethylene glycol yang ditambahkan maka ikatan hidrogen
semakin banyak sehingga menyebabkan terhambatnya foam untuk berekspansi. Hal
ini ditunjukkan dari peningkatan wave number yaitu 3380 – 3445,52. Selain itu
juga adanya gugus C – O dan C – N yang mengindikasikan adanya urethane dan urea
yaitu pada wave number 1101,52 – 1108,53. Dengan demikian disimpulkan bahwa
castor oil dapat digunakan dalam pembuatan polyurethane foam
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan pada pembuatan
polyurethane foam dengan menggunakan polypropylene glycol (PPG) three function
dengan castor oil, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a.
Penggunaan castor oil dan ethylene glycol
menimbulkan perubahan terhadap struktur foam yang dihasilkan dalam bentuk
diameter dan densitas sel polyurethane foam.
b.
Untuk sistem polyol (castor oil – PPG)
diameter sel mengalami kenaikan optimum pada penambahan ethylene glycol 1 pphp.
c.
Untuk sistem polyol (castor oil – PPG)
densitas sel mengalami penurunan dengan nilai minimum pada penambahan ethylene
glycol 1 pphp.
d.
Penggunaan castor oil dalam sistem polyol
(PPG – castor oil) dapat digunakan pada pembuatan polyurethane foam yang
ditunjukkan dengan bertambahnya volume dari bahan campuran awal hingga volume
foam akhir yang berada pada titik optimum yaitu 29,62 kali.
e.
Penambahan ethylene glycol untuk sistem
polyol (castor oil – PPG) meningkatkan rasio ekspansi volume dengan titik
maksimum pada konsentrasi 1 pphp dengan volume ekspansi rasio 35,81 kali.
f.
Hasil FTIR juga menunjukkan bahwa pada
panjang gelombang 1736,28 cm-1 mengindikasikan adanya urethane linkage yang
dapat menghubungkan oligomer – oligomer sehingga terbentuk polyurethane.
g.
Dilihat dari besarnya nilai rentang bulk
density dan jenis sel yang dihasilkan yaitu open cell, pemakaian castor oil
dengan chain extender ethylene glycol dalam sistem polyol (PPG – castor oil)
dapat menghasilkan foam yang digolongkan ke dalam low density flexible foams.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Artavia, Luis D., Macosko, Christoper W.
1994.”Polyurethane Flexible Foam Formation Low Density Cellular
Plastics”,Chapman & Hall, London.
2.
Bross, R.,Harrington, R.M dan Casati, F.M.
2000.”Endurance of Polyurethane Automotive Seating Foams Under Varying
Temperature and Humidity Conditions”,In Cellular Polymer,Vol 19,Rapra
Technology LTD.
3.
Cheremisinoff, P. Nicholas. 1989.
“Handbook of Polymer Science and Technology”, Vol.2.
4.
Ilhamsyah dan Sidu. 2005. “Pengaruh Chain
Extender Terhadap Struktur dan Properti Mekanis Foam Fleksibel Polyurethane
Dengan Blowing Agent Methylene Chloride dan CO2”,Skripsi Teknik Kimia
ITS,Surabaya.
5.
Katz, A. David. 2008. “Polyurethane Foam”,
Craft Cast TM
6.
Kirk-Othmer. 1993. “Encyclopedia of
Chemichal Technology”, John Wiley & Sons, Inc. USA.
7.
Klempner, Daniel. 2001. “Advances in
Urethane Science and Technology”,Rapra Technology LTD.
8.
Lederer, Klaus. 1998. “Properties of Polyurethane
Foams Depending on Molar Ratio Chain extender/Polyol and The Structure of the
Chain extender”,Institute for Chemie der Kunststoffe,Montanuniversitat Leoben
Blum Ingeborg.
9.
Lim, H.,Kim, S.H.,Kim, B.K.2008. “Effects
of Silicone Surfactant in Rigid Polyurethane Foams”,Department of Polymer
Science and Engineering Pusan National University,Busan,Korea.
10. Michaeli,Walter
and Wolters,Leo.2000.“Trainning Plastic Technology 2nd ed”,HANSER Publisher
Germany
11. Muhibbidin
dan Sony. 2002. “Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap Struktur dan Properti
Foam Fleksibel Polyurethane”,Skripsi Teknik Kimia ITS,Surabaya.
12. Oertel,
Gunter. 1985. “Polyurethane Handbook”, New York: Macmillen Publishing Co., Inc.
13. Ogunleye,
O.O., Oyawale, F.A., Suru, E. 2008. “Effects of Castor Oil on the Physical
Properties of Polyether Based Flexible Polyurethane Foam”,Advances in Natural
and Applied Sciences, Vol. 2.
14. Ogunniyi,
D.S dan Fakayejo, W.R.O. 1996. “Preparation and Properties of Polyurethane
Foams from Toluene Diisocyanate and Mixture of Castor oil and Polyol”,Iranian
Polymer Journal, Vol. 5, hal. 56-59.
15. Rahman
dan Sinatra. 2006. “Pengaruh Crosslinker Terhadap Struktur dan Properti Mekanis
Foam Fleksibel Polyurethane Dengan Blowing Agent Methylene Chloride dan
CO2”,Skripsi Teknik Kimia ITS,Surabaya.
16. Sigma-Aldrich.
2011. “Polypropylene glycol triol P 500”,SIGMA-ALDRICH, ALDRICH and SUPELCO
USA.
17. Sparrow,
David. 1990. “The ICI Polyurethanes Book”, ICI,Belgium.
18. Suryajati,
Wahyu. 2011. “Sintesis Busa Poliuretan dari Minyak Jarak, Air dan
1,4-Butanadiol yang Direaksikan dengan Toluena Diisosianat (TDI) sebagai
Isolator Panas”,Skripsi Teknik Kimia UNY, Yogyakarta.
19. Triwulandari,Evi.dkk.
2007. “Synthesis and Structure Properties of Rigid Polyurethane Foam From Palm
Oil Based Polyol”,Research Center for Chemistry,Indonesian Institute of
Science,Tangerang.
20. Wang,
Feng. 1998. “Polydimethylsiloxane Modification of Segmented Thermoplastic
Polyurethanes and Polyureas”, Dissertation Submitted to the Faculty of the
Virginia Polytechnic Institute and State University in partial fulfillment of
the requirements for the degree,Virginia.
21. Widodo,
Wahyu. dan Sumarsih, Sri. 2007. “Jarak Kepyar Tanaman Penghasil Minyak Kastor
untuk Berbagai Industri”, Kanisius : Yogyakarta.
22. Zhang,
X.D. 1999. “Role of Silicone Surfactant in Flexible Polyurethane
Foam”,Department of Chemical Engineering and Material Science, University of
Minnesota.
Sumber: Pribadi
Comments
Post a Comment